UNTUK CLOSE : KLIK LINK IKLAN DI BAWAH 1 KALI AGAR MELIHAT FULL ARTIKEL ^^

sejarah kabupaten SAMPANG (jawa timur)

Sampang adalah sebuah kabupaten di Madura yang ada di sebelah utara bagian timur dari pulau Jawa.
Sejarah kuno Sampang hanya dikenal dari beberapa prasasti dengan Sangkala candra. Dalam tradisi Jawa, adalah suatu representasi visual yang berbunyi hukuman empat kata yang masing-masing menghasilkan angka. Ini memberikan makna tanggal secara penanggalan Saka.
Pertama candra Sangkala ditemukan di situs Sumur Daksan di desa Dalpenang, membaca angka 757 Saka atau 835 Masehi itu menandakan adanya komunitas kaum Budha yang dipimpin oleh Resi (guru spiritual) .
Sebuah candra kedua Sangkala, ditemukan di situs Bujuk Nandi, di desa Kamoning Kabupaten Sampang, yang terbaca sebagai Saka 1301 atau 1379 M. Situs itu menyebutkan adanya sebuah komunitas yang dipimpin oleh seorang Resi bernama Durga Shiva Mahesasura Mardhini. The Nandi banteng adalah vahana atau kendaraan Dewa Shiwa.
Sebuah candra ketiga Sangkala , ditemukan di situs Pangeran Bangsacara di desa Polagan , menandakan tahun 1383, ketika pembangunan sebuah kuil Buddha dengan ber-relief yang menceritakan kisah seorang pangeran bernama Bangsacara dan berisi pesan moral dan ajaran agama. Kita dapat menyimpulkan keberadaan masyarakat Shaivite dan Buddha di kabupaten Sampang antara tahun 1379 dan 1383.
Sebuah candra keempat Sangkala , ditemukan di situs Pangeran Santomerto yang menunjukkan tanggal kematian pangeran Santomerto, paman Praseno dan hal ini sesuai dengan tahun 1574.

Sebuah candra kelima Sangkala yang terukir di sayap kiri dari portal utama makam ibu Praseno di Madegan. Ini melambangkan naga melalui kepala ke ekor dengan panah. Ini melambangkan tahun 1546 Saka atau 1624 M. Ini adalah tahun dimana Praseno diangkat oleh Sultan Agung dengan gelar Pangeran Cakraningrat

Babad Sampang

Pada Zaman Majapahit di Sampang ditempatkan seorang Kamituwo yang pangkatnya hanya sebagai patih, jadi boleh dikatakan kepatihan yang berdiri sendiri.
Sewaktu Majapahit mulai mundur, di Sampang berkuasa Ario Lembu Peteng atau terkenal dengan sebutan Bondan Kejawan atau Ki Ageng Tarub II atau Prabu Brawijaya VI, Putera ke 14 dari Raja Majapahit Prabu Bhre Kertabhumi atau Prabu Brawijaya V atau Raden Alit dengan selirnya yaitu Puteri Champa yang bernama Ratu Dworo Wati atau Puteri Wandan Kuning . Lembu Peteng akhirnya pergi memondok di Masjid Ampel dan meninggal di sana.
Yang mengganti Kamituwo di Sampang adalah putera yang tertua ialah Ario Menger yang keratonnya tetap di Madekan. Menger berputera 3 orang laki-laki ialah:
  1. Ario Langgar,
  2. Ario Pratikel (ia bertempat tinggal di Pulau Gili Mandangin atau Pulau Kambing) dan
  3. Ario Panengah yang bergelar Pulang Jiwo bertempat tinggal di Karangantang.

Ario Pratikel mempunyai anak perempuan yang bernama Nyai Ageng Budo yang menikah dengan Ario Pojok yang merupakan putera dari Ario Kudut, Ario Kudut sendiri merupakan putera dari Ario Timbul. Ario Timbul merupakan putera dari hasil pernikahan antara Menak Senojo dengan Nyai Peri Tunjung Biru Bulan atau yang bergelar Puteri Tunjung Biru Sari.

Pernikahan antara Nyai Ageng Budo dengan Ario Pojok membuahkan keturunan yang bernama Kyai Demang (Demangan adalah tempat kelahirannya).
Setelah Demang menjadi dewasa ia sering pergi ke tempat-tempat yang dipandang keramat dan bertapa beberapa hari lamanya di sana hingga pada suatu waktu saat ia tertidur di pertapaannya ia bermimpi supaya ia terus berjalan ke arah Barat Daya ke desa Palakaran.
Setelah Demang bangun ia terus pulang dan minta ijin pada orang tuanya untuk memenuhi panggilan dalam mimpinya, ayah dan ibunya sebenarnya keberatan tetapi apa dikata, kehendak anaknya sangat kuat. Menurut cerita Demang terus berjalan ke arah Barat Daya, selama di perjalanan ia makan ala kadarnya daun-daun, buah-buahan dan apa saja yang dapat dimakan, dan kalau malam ia tertidur di hutan dimana ia dapat berteduh.
Pada suatu waktu ketika ia berhenti melepaskan lelah tiba-tiba datang seorang perempuan tua memberikan bingkisan dari daun-daun, setelah bingkisan dibuka terdapatlah 40 buah bunga Nagasari, dimana ada Pohon Nagasari? Perempuan tua itu menjawab bahwa pohon yang dimaksud letaknya di desa Palakaran tidak beberapa jauh dari tempat itu.
Dengan diantar perempuan tua tersebut Demang terus menuju kedesa Palakaran dan diiringi oleh beberapa orang yang bertemu diperjalanan. Sesampainya di desa tersebut mereka beristirahat di kediaman pengantarnya sambil menikmati hidangan yang lezat-lezat yang menghidangkan ialah, Nyi Sumekar puteri dari janda itu. Tidak beberapa lama kyai Demang jatuh cinta pada perempuan itu dan mereka kemudian menikah, dan mendirikan rumah besar, yang kemudian oleh orang-orang disebut keraton kota Anjar (Arosbaya) dari perkawinan Nyai Sumekar dan Kyai Demang lahirlah beberapa orang anak dengan nama-nama sebagai berikut :
  1. Kyai Adipati Pranomo
  2. Kyai Pratolo atau disebut sebagai Pangeran Parambusan
  3. Kyai Pratali atau disebut sebagai Pangeran Pesapen
  4. Pangeran Paningkan atau disebut sebagai Pangeran Suka Sudo
  5. Kyai Pragalbo atau disebut sebagai Pangeran Plakaran yang bertahta di Plakaran dan setelah wafat disebut sebagai Pangeran Islam Onggu'
Pada suatu saat Demang Palakaran bermimpi bahwa kemudian hari yang akan menggantikan dirinya ialah Kiyahi Pragalbo yang akan menurunkan pemimpin-pemimpin masyarakat yang baik, putera yang tertua Pramono oleh ayahnya disuruh bertempat tinggal di Sampang dan memimpin pemerintah dikota itu.
Ia menikah dengan puteri Wonorono di Pamekasan karena itu ia juga menguasai Pamekasan jadi berarti Sampang dan Pamekasan bernaung dalam satu kerajaan, demikian pula sewaktu Nugeroho (Bonorogo) menggantikan ayahnya yang berkeraton di Pamekasan dua daerah itu masih di bawah satu kekuasaan.
Setelah kekuasaan Bonorogo, Sampang terpisah lagi dengan Pamekasan yang masing-masing dikuasai oleh Adipati Pamadekan (Sampang) dan Pamekasan dikuasai oleh Panembahan Ronggo Sukawati, keduanya adalah putera Bonorogo.
Kemudian Sampang diperintah oleh Pangeran Adipati Mertosari ialah cucu dari puteri Pramono putera dari Pangeran Suhra Jamburingin, demikianlah diceritakan bahwa memang menjadi kenyataan Kyai Demang banyak menurunkan Raja-Raja di Madura.
legenda jaka tarub
Jaka Tarub adalah salah satu cerita rakyat dari Jawa Tengah yang mengisahkan tentang kehidupan Ki Jaka Tarub yang setelah tua bergelar Ki Ageng Tarub, tokoh legendaris yang dianggap sebagai leluhur raja-raja Kesultanan Mataram, dari pihak putrinya, yaitu yang bernama Retno Nawangsih.
Suatu hari Jaka Tarub berangkat berburu di kawasan Gunung Keramat. Di gunung itu terdapat sebuah telaga tempat tujuh bidadari mandi.
Jaka Tarub mengambil selendang salah satu bidadari. Ketika 7 bidadari selesai mandi, enam dari tujuh bidadari tersebut kembali ke kahyangan. Sisanya yang satu orang bingung mencari selendangnya, karena tanpa itu ia tidak mampu terbang.
Jaka Tarub muncul datang menolong. Bidadari yang bernama Dewi Nawangwulan itu bersedia ikut pulang ke rumahnya. Keduanya akhirnya menikah dan mendapatkan seorang putri bernama Dewi Nawangsih. Selama hidup berumah tangga, Nawangwulan selalu memakai kesaktiannya. Sebutir beras bisa dimasaknya menjadi sebakul nasi.
Suatu hari Jaka Tarub melanggar larangan Nawangwulan supaya tidak membuka tutup penanak nasi. Akibatnya kesaktian Nawangwulan hilang. Sejak itu ia menanak nasi seperti umumnya wanita biasa. Maka, persediaan beras menjadi cepat habis. Ketika beras tinggal sedikit, Nawangwulan menemukan selendang pusakanya tersembunyi di dalam lumbung. Nawangwulan pun marah mengetahui kalau suaminya yang telah mencuri benda tersebut.
Jaka Tarub memohon istrinya untuk tidak kembali ke kahyangan. Namun tekad Nawangwulan sudah bulat. Hanya demi bayi Nawangsih ia rela turun ke bumi untuk menyusui saja.
Pernikahan Nawangsih Jaka Tarub kemudian menjadi pemuka desa bergelar Ki Ageng Tarub, dan bersahabat dengan Prabu Brawijaya raja Majapahit. Pada suatu hari Brawijaya mengirimkan keris pusaka Kyai Mahesa Nular supaya dirawat oleh Ki Ageng Tarub. Utusan Brawijaya yang menyampaikan keris tersebut bernama Ki Buyut Masahar dan Bondan Kejawan, anak angkatnya. Ki Ageng Tarub mengetahui kalau Bondan Kejawan sebenarnya putra kandung Brawijaya. Maka, pemuda itu pun diminta agar tinggal bersama di desa Tarub.
Sejak saat itu Bondan Kejawan menjadi anak angkat Ki Ageng Tarub, dan diganti namanya menjadi Lembu Peteng. Ketika Nawangsih tumbuh dewasa, keduanya pun dinikahkan. Setelah Jaka Tarub meninggal dunia, Lembu Peteng alias Bondan Kejawan menggantikannya sebagai Ki Ageng Tarub yang baru dan bergelar Ki Ageng Tarub II. Nawangsih sendiri melahirkan seorang putra, yang setelah dewasa bernama Ki Getas Pandawa.
Ki Ageng Getas Pandawa kemudian memiliki putra bergelar Ki Ageng Sela, yang merupakan kakek buyut '''Panembahan Senapati''', pendiri Kesultanan Mataram.

sejarah singkat
Sangkala Memet yang terdapat di situs Sumur Dhaksan di Jalan Syuhadak Kelurahan Dalpenang menjadi prasasti yang pertama. Di situs itulah, ditemukan Candra Sangkala atau angka tahun Saka (C,) yang berbunyi: Kudo Kalih Ngrangsang Ing Butho
Seorang ahli sansekerta menafsirkan, situs Sumur Dhaksan dibuat sekitar tahun 757 C, yang bertepatan dengan tahun 835 Masehi. Berarti, situs tersebut dibuat jauh sebelum berdirinya Dinasti Syailendra.
"Saat itu, di Sampang sudah ada komunitas masyarakat yang berstruktur dan memiliki padepokan agama Hindu-Budha," terangnya.
Berdasarkan penjelasan Direktorat Sejarah dan Kepurbakalaan Depdikbud RI, pada jaman itu padepokan tersebut merupakan tempat untuk menggodok kerohanian masyarakat.
Prasasti kedua adalah Sangkala Memet pada situs Buju’ Nandi di Desa Kemoning, Kecamatan Kota Sampang. Pada prasasti tersebut, tertulis Negara Gata Bhuana Agong atau 1301 C, yang bertepatan dengan tahun 1379 Masehi. Sangkala Memet tersebut diperkirakan bekas peninggalan padepokan Hindu-Budha.
Sedangkan prasasti yang ketiga adalah prasasti Bangsacara yang terletak di Kampung Madeggan, Kelurahan Polagan, Kota Sampang. Situs tersebut ditemukan di dasar umpak atau candi belum jadi yang tertulis angka 1305 C, atau bertepatan dengan tahun 1383 Masehi.
"Konon, di daerah ini juga sudah berdiri padepokan Hindu-Budha yang kebenaran berdirinya didukung oleh pitutur atau legenda masyarakat setempat," terangnya.
Prasasti yang keempat adalah situs Pangeran Santo Merto yang merupakan paman Raden Praseno atau Pangeran Cakraningrat I yang menjadi penguasa Madura Barat. Pada situs ini, terdapat tulisan Candra Sangkala bertuliskan huruf Hijaiyah tahun 1496 C, atau tahun 1574 Masehi.
Sedangkan situs terakhir adalah Makam Rato Ebuh yang juga terletak di Kampung Madeggan. Di situs tersebut, tertulis angka tahun Saka dan tulisan berbunyi "Naga Kapaneh Titis Ing Midi" yang dibuat pada tahun 1545 C, atau tahun 1624 Masehi yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Sampang.
Berangkat dari temuan prasasti dan situs itulah, akhirnya Pemkab Sampang menggelar Seminar Penentuan Hari Jadi Kabupaten Sampang. Yang diundang sebagai pembicara antara lain, peneliti sejarah dari Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta.
Kesimpulan seminar, situs Sumur Daksan, Buju’ Nandi, Bangsacara, dan Pangeran Santo Merto dinyatakan tidak bisa dijadikan sebagai referensi. Alasannya, tidak ada bukti atau referensi kepustakaan otentik yang mendukung.
Khusus prasasti Pangeran Santo Merto, sebenarnya disertai bukti tulisan ahli sejarah asal Belanda, HJ De Graff. Tapi, tulisan tersebut dinyatakan tidak representatif dijadikan dasar penetapan Hari Jadi Kabupaten Sampang.
"Setelah melalui adu argumentasi dan pengkajian ilmiah secara mendalam, akhirnya situs Makam Rato Ebuh yang ditetapkan sebagai acuan untuk menentukan Hari Jadi Kabupaten Sampang," jelas Ali Daud Bey.
Dibandingkan referensi yang lain, situs Makam Rato Ebuh dilengkapi dan didukung dengan daftar kepustakaan hasil karya ahli sejarah Belanda HJ De Graff. Sehingga, sangat representatif dijadikan dasar penetapan Hari Jadi Kabupaten Sampang.
Dalam bukunya "De Op Komst Van R Trunojoyo" (1940), HJ De Graaf menyebutkan bahwa pada tanggal 12 Rabi’ul Awal 1039 Hijriyah yang bertepatan dengan 23 Desember 1624 Masehi, Raja Mataram saat itu Sultan Agung mengangkat dan menetapkan Raden Praseno yang bergelar Pangeran Cakraningrat I menjadi penguasa Madura Barat yang kerajaannya dipusatkan di Sampang.
De Graff menerangkan, dalam surat titahnya, Sultan Agung juga menegaskan bahwa Pangeran Cakraningrat I berhak menerima payung kebesaran kerajaan dan upeti sebesar 20 ribu Gulden.
Secara de jure maupun de facto, surat tersebut merupakan bukti otentik yang menjadi pride (kebanggaan) masyarakat Madura Barat yang cakupan kekuasaannya meliputi Sampang, Arosbaya, dan Bangkalan atas terpilihnya Raden Praseno sebagai Raja Madura Barat.
Saat itu, masyarakat Mataram ikut merayakan pengangkatan dan penetapan Pangeran Cakraningrat I dengan melakukan kegiatan Gebreg Maulid.
Sebenarnya, Pangeran Cakraningrat I adalah salah seorang tawanan Sultan Mataram saat berlangsungnya perang antara masyarakat Madura dengan Mataram. Tapi, Sultan Agung kemudian mengangkat Raden Praseno yang saat itu masih berumur 6 tahun sebagai anak asuhnya.
Setelah puluhan tahun dibesarkan di lingkungan keluarga Keraton Mataram, akhirnya Raden Praseno menjadi anak emas Sultan Agung dan dipercaya menjadi Raja Madura Barat pada tahun 1546 Saka atau 1624 M.
Meskipun menjadi penguasa Madura Barat, Pangeran Cakraningrat I konon jarang berada di Sampang. Sebab, saat itu tenaganya sangat dibutuhkan Sultan Agung untuk mengawal Kerajaan Mataram. Praktis, jalannya roda pemerintahan di Kerajaan Madura Barat seringkali diwakilkan kepada pamannya, Pangeran Santo Merto.
Beberapa tahun kemudian, Pangeran Cakraningrat I dan putranya Pangeran Mloyo Kusumo atau Raden Maluyo akhirnya mangkat di medan perang saat berusaha menghentikan pemberontakan Pangeran Pekik yang merongrong kepemimpinan Sultan Agung.
Jasad Pangeran Cakraningrat I kemudian dikebumikan di makam raja-raja Mataram di Imogiri, Jawa Tengah. Perang saudara tersebut akhirnya melengserkan tahta kekuasaan Sultan Agung. Setelah itu, mahkota Kerajaan Mataram diserahkan kepada Sultan Amangkurat.
Peralihan kekuasaan dari Sultan Agung kepada Sultan Amangkurat ini, berimbas pada jalannya roda pemerintahan di Kerajaan Madura Barat. Mahkota kerajaan yang seharusnya diserahkan kepada Raden Nila Prawita atau Pangeran Trunojoyo, justru diserahkan kepada Pangeran Cakraningrat II.
Karena tidak terima dengan keputusan Raja Mataram Sultan Amangkurat, Pangeran Trunojoyo akhirnya melakukan pemberontakan. Konon, kepemimpinan Pangeran Cakraningrat II ini dilakukan secara sewenang-wenang, korup, dan bejat.
Merasa tidak aman dengan ancaman dan pemberontakan Pangeran Trunojoyo, akhirnya pusat Kerajaan Madura Barat dipindah dari Madeggan di Sampang ke daerah Kwanyar, Bangkalan. Beberapa saat kemudian, tahta kerajaan dipindah lagi ke daerah Arosbaya, Bangkalan.
Kegigihan perjuangan Pangeran Trunojoyo akhirnya membuahkan hasil. Tidak hanya Kerajaan Madura Barat saja yang berhasil digulingkan. Tapi, tahta Kerajaan Mataram pun akhirnya berhasil direbut.
Meskipun berhasil melengserkan kekuasaan Sultan Amangkurat sebagai Raja Mataram, tapi Pangeran Trunojoyo menolak menjadi penguasa dan menduduki singgasana Kerajaan Mataram. Yang dia inginkan, hanyalah menjadi penguasa Kerajaan Madura Barat. Akhirnya, Pangeran Trunojoyo resmi dinobatkan menjadi Raja Madura Barat dengan gelar Panembahan Maduretno.
Walaupun menolak menduduki tahta Kerajaan Mataram, Panembahan Maduretno tetap membawa mahkota Kerajaan Mataram. Dia menolak menyerahkan simbol kekuasaan Kerajaan Mataram, selama Sultan Amangkurat tidak bersedia memutuskan kerjasama dengan Belanda. Setelah tuntutan itu dipenuhi, akhirnya mahkota Kerajaan Mataram pun dikembalikan.
Selama menjadi penguasa Kerajaan Madura Barat, Pangeran Trunojoyo meninggalkan monumen bersejarah bagi masyarakat Kabupaten Sampang. Diantaranya adalah Monumen Trunojoyo yang dijadikan sebagai pusat latihan kelaskaran prajurit Kerajaan Madura Barat.
Sampai saat ini, Monumen Pebabaran sebagai tempat kelahiran Pangeran Trunojoyo yang terlokasi di Jalan Pahlawan Gg VIII Kota Sampang masih terawat dengan baik. Menurut legenda masyarakat setempat, di lokasi inilah ari-ari pahlawan rakyat Madura tersebut ditanam oleh kedua orangtuanya

geografis
Kabupaten Sampang secara administrasi terletak dalam wilayah Propinsi Jawa Timur yang secara geografis terletak di antara 113o 08’ - 113o 39’ Bujur Timur dan 6o 05’ - 7o 13’ Lintang Selatan. Kabupaten Sampang terletak ± 100 Km dari Surabaya, dapat dengan melalui Jembatan Suramadu kira-kira 1,5 jam atau dengan perjalanan laut kurang lebih 45 menit dilanjutkan dengan perjalanan darat ± 2 jam.

pariwisata
  • Pulau Mandangin
  • Pantai Camplong
  • Kuburan Madegan
  • Waduk Klampis Desa Kramat kecamatan Kedungdung
  • Air terjun Toroan
  • Rimba monyet - Nepa Raden segoro
  • Reruntuhan Pababaran
  • Pemandian Sumber Otok
  • Wisata Alam Goa Lebar
  • Monumen Sampang
  • Situs Pababaran Trunojoyo
  • Situs Ratoh Ebuh
  • Sumur Daksan
  • Situs Makam Pangeran Santo Merto
  • Situs Makam Bangsacara dan Ragapatmi
  • Situs Makam Sayyid Ustman Bin Ali Bin Abdillah Al-Habsyi
 kuliner


Nasi jagung (nasek empog) Hmmm... Sepertinya enyak ^^
Terdiri dari nasi putih yang dicampur dengan biji jagung yang telah dimasak bersama-sama.

Nasi Kobel
Nasi dengan lauk ikan laut, tahu, sambel kelapa, dan sambel khas Madura "buje cabbih"





Bebek Songkem
Konon masyarakat kota Sampang dengan notabene menjunjung dan menghormati Kyai, selalu membawa oleh - oleh bila hendak ke rumah sang Kyai untuk songkeman. Maka jadilah masakan bebek yang mereka bawa disebut bebek songkem.



Rujak cingur khas Sampang

Saat googling tentang kulineran khas Sampang, saya menemukan situs yang berisi macam2 rujak
Rujak sudah mengalami tingkat evolusi dan modifikasi dari tahun ke tahun jadinya setiap daerah memiliki ciri khas dan rasa yang berbeda - beda pula. Nah untuk Rujak Khas Sampang sendiri memiliki jenis dan suguhan yang berbeda - beda pula, ada sekitar 5 (Lima Jenis) Jenis rujak di Kota Sampang yaitu :

RUJAK CINGUR
Rujak cingur ini sama dengan rujak cingur pada umumnya hanya saja rujak ini memiliki rasa dan bumbu yang agak sedikit kasar tapi soal rasa bisa tidak kalah dengan penganan rujak di seluruh indonesia, yang menambah nikmat rasanya adalah cingur - cingur olahan khusus yang empuk dan kerupuk singkong khas madura yang gurih, disajikan dengan rasa yang pedas dan minuman dingin mantaaaf..... soal harga andapun tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam cukup dengan lima ribu rupiah untuk rasa yang eksotik dan tentunya jadi pengalaman baru bagi lidah anda.

RUJAK COLEK
Ini bukan penganan genit yang pernah anda dengar, namanya rujak colek atau dalam bahasa Madura adalah
" Dhulit " kenapa masyarakat disini menyebutnya demikian karena biasanya bagi sebagian para penjual setelah bumbu selesai di buat biasanya mencoleknya dengan irisan mentimun untuk mengetes rasa yang diinginkan oleh pembeli, sebagian orang juga mengatakan dikarenakan cara makan rujak ini dahulu dengan mencolek bumbunya menggunakan irisan buah. Rujak ini berbeda dengan rujak pada umumnya, rujak ini tidak menggunakan bumbu lengkap seperti halnya rujak cingur, hanya menggunakan petis, bumbu penyedap dan ada tambahan tomat isinya pun tanpa lontong hanya buah - buahan, sayur, cingur dan kerupuk singkong. Rasanya lebih Sangar dari rujak cingur apalagi bagi kalian penyuka makanan pedas.

RUJAK COREG
Rujak ini bisa dikatakan rujak unik dan mungkin hanya ada di Kota Sampang, namanya rujak Coreg atau dalam bahasa indonesia mengorek / mengeluarkan isinya. Dinamakan rujak coreg karena Bahannya hanya menggunakan mentimun yang di keluarkan isinya dengan cara menggunakan potongan bambu yang telah dihaluskan, bumbunya hanya menggunakan petis, garam dan cabe kemudian mengisinya kembali bumbu yang telah jadi kedalam mentimun, bisa kebayang bagaimana cara anda memakannya.....penasaran ??? jika anda sedang berkunjung ke Kota Sampang silahkan mencobanya.

RUJAK GUNUNG / RUJAK DESA
Dinamakan rujak Gunung / rujak Desa karena kebanyakan para penjualnya berasal dari desa dan perbukitan di sekitar kota Sampang, rujak ini lebih simpel lagi dari rujak cingur hanya berisi sayuran dari buah pepaya muda yang di godok dan lontong untuk bumbunya sendiripun tidak terlalu lengkap seperti rujak cingur dan biasanya kebanyakan dihidangkan dengan nasi jagung.

RUJAK CAMPUR
Rujak ini hanya ada di beberapa daerah pedesaan di Kota Sampang, olahannya sama dengan rujak pada umumnya kemudian ada tambahan mie dan kuah dari Lontong mie yang disiramkan di atas rujak dan ada tambahan bumbu dari petis yang dicairkan rujak ini tidak terlalu diminati oleh sebagian masyarakat mungkin karena selain rujaknya berkuah dan rasanya sedikit asing.


sumber oryza-bitha,wikipedia

0 comments on sejarah kabupaten SAMPANG (jawa timur) :

Post a Comment